ARENAKITA / PARIS – Mengalahkan Arsenal 2-1 di leg kedua semifinal Liga Champions, Kamis (8/5) dini hari WIB, Paris Saint-Germain memastikan tiket ke final dengan keunggulan agregat 3-1.
Di tengah sorak-sorai Parc des Princes yang bergemuruh, PSG menuliskan kembali sejarah mereka di Eropa. Sebuah pencapaian yang tak hanya bersejarah, tetapi juga dibalut oleh drama dan detail teknis yang mencerminkan kejeniusan strategi mereka.
Lima tahun setelah perjalanan mereka yang hampir mencapai puncak pada 2020, PSG kini kembali ke panggung terbesar di Eropa. Namun, yang membuat kisah ini semakin menarik bukan hanya keberhasilan lolos ke final, melainkan bagaimana mereka melakukannya tanpa memiliki pemain megabintang seperti Kylian Mbappé, namun tetap tampil tajam dan terorganisir.
Salah satu pilar utama keberhasilan PSG adalah Gianluigi Donnarumma. Kiper asal Italia ini tampil bak tembok hidup, mematahkan sederet peluang emas dari lini depan Arsenal. Penyelamatan gemilangnya terhadap upaya Martinelli, Odegaard, hingga Saka memberi PSG napas ketika tekanan begitu intens. Di malam di mana margin kesalahan begitu tipis, Donnarumma menjelma jadi fondasi kemenangan.
Ironi terbesar dari pertandingan ini terletak pada statistik: Arsenal menciptakan lebih banyak peluang, lebih tajam dalam catatan xG (expected goals) atau rataan peluang gol, namun justru PSG yang mencetak dua gol. Dalam dua leg, Arsenal unggul dengan total xG 4,4 dibanding 3,1 milik PSG. Tapi sepak bola tak dimainkan di atas grafik, dan PSG membuktikannya lewat efisiensi klinis.
Dua gol PSG, meskipun berasal dari peluang dengan xG rendah, cukup untuk menuntaskan misi. Ini bukan sekadar keberuntungan, melainkan hasil dari sistem bermain yang tahu kapan harus menyerang dan kapan mengatur napas.
Sayangnya, kisah Arsenal dalam laga ini tak hanya soal peluang yang terbuang. Thomas Partey, yang sempat tampil solid, justru terlibat dalam dua momen krusial yang menghasilkan gol PSG. Dalam pertandingan bertempo tinggi dan penuh tekanan, satu detik kelengahan bisa berarti petaka. Dan malam itu, Partey jadi simbol betapa mahalnya harga dari kesalahan.
Clearence sundulan tak sempurna Partey pada menit 27 berbuah gol Fabian Ruiz. Sedangkan gol kedua PSG menit ke-72 oleh Hakimi tercipta lantaran Partey gagal dalam duel perebutan bola.
Saka sempat memberi harapan untuk Arsenal dengan mencetak gol penipis skor yang sempat mengguncang suasana. Namun, sorotan kembali padanya saat ia gagal memaksimalkan peluang emas di akhir laga, sebuah tembakan dengan nilai xG sebesar 0,8 yang melambung ke atas mistar.
Tanpa bintang-bintang glamor, PSG era Luis Enrique mengandalkan kolektivitas. Desire Doue dan Bradley Barcola, dua nama muda yang mungkin tak masuk radar dalam perbincangan utama, menjadi bagian dari mesin yang bergerak sempurna. PSG malam itu bukan soal individu, tapi tentang sistem dan mentalitas.
Dengan kemenangan ini, PSG melangkah ke final Liga Champions di Munich, di mana mereka akan menghadapi Inter Milan. Laga tersebut akan menjadi ujian terakhir bagi tim yang menolak tunduk pada ekspektasi klasik. Mereka bukan PSG yang dulu. Mereka lebih tenang, lebih efisien, dan lebih siap dari sebelumnya.